Gantung
Pelalau
Mak sibuk
menyuruhku mencari jeruk nipis. Saat aku bertanya untuk apa,dia bilang untuk
mandi tolak bala. Kata mak lagi aku kena guna-guna orang. Gantung
pelalau,begitu namanya. Konon,orang yang terkena gantung pelalau,akan sulit
mendapat jodoh. Walaupun sudah ada kekasih ada-ada saja hambatan untuk menikah.
“Ah mak itu
jaman dulu. Sekarang tidak ada yang begituan,”bantahku. Aku bukan orang yang
terlalu percaya dengan hal seperti itu. Gantung pelalau menurutku hal bullshit yang tidak perlu dipercayai.
“Lagipula
ada tidaknya jodoh di dunia ini telah diatur oleh Tuhan,tak ada satu makhluk
pun yang mengetahui rahasia Dia. Kalaupun nantinya Sarah tidak dapat jodoh,itu
bukan karna gantung pelalau tapi memang Allah tidak menyediakan jodoh Sarah di
dunia ini,”terangku lagi bak Mama Dedeh.
“Kau jangan
tidak percaya Sarah. Memang ada jodoh atau tidak di tangan Allah,tapi banyak
penyebabnya. Kau tau adik ipar kak Lipah tu,dia dulu kena gantung pelalau juga.
Sudah hampir menikah tiba-tiba dibatalkan oleh pihak laki-laki. Setelah berobat
ke dukun baru sembuh dan menikah baru-baru ini.” Mak mulai marah pada ku.
Setiap membicarakan masalah mejik-mejik,aku
dan keluargaku selalu saja bersilat lidah. Aku percaya,keluarga ku pula
menyuruhku mempercayainya. Satu lagi yang membuatku terkilan,dukun. Untuk apa
bertemu dukun? Pakai kemenyan seperti mau memanggil hantu.
“Mak sudah
pergi ke rumah pak Putih,katanya kau ada menyinggung hati orang,jadi orang
itulah yang mengguna-gunakan mu.” Pak Putih merupakan salah satu “orang pintar”
di kampung kami. Banyak orang meminta bantuan kepadanya. Ada yang minta diurut,tawar air,mengobati
orang,dan banyak lagi.
“Tapi
mak,Sarah tidak merasa pernah menyinggung perasaan orang. Lagipula,tidak jelas
orang mana yang Sarah singgung,” aku membela diri.
“Kau memang
tidak merasa,tapi mungkin dia yang merasa tersinggung padamu. Sudahlah cari
saja jeruk nipis,nanti mak pergi ke rumah pak Putih lagi,supaya dia dapat
mengobatimu.” Aku tak kuasa menolak. Jeruk nipis di belakang rumah tetanggaku
besar-besar. Aku berpikir lebih baik jeruk yang ku petik ini dibuat sambal
mentah tentu lebih berguna daripada dibuat mandi. Ah..aku jadi lapar. Ku
putuskan untuk mengambilnya sebagian untuk sambal mentahku. Sisanya baru ku
kasi pada mak.
Sejak hari
itu dikeluargaku penuh dengan cerita guna-guna,gantung pelalau. Kemak. Pulang
ke rumah mak menceritakan hasil pertemuannya dengan pak Putih. Di rumah
kakak,cerita yang sama didengar lagi. Aku benar-benar muak dengan kisah gantung
pelalau ini. Gantung pelalau dan lagi-lagi gantung pelalau yang ku dengar.
Sepertinya mak dan keluargaku sangat takut kalau-kalau nantinya aku tidak dapat
jodoh dan menjadi perawan tua. Gantung pelalau keparat. Begitu besarkah
kebenarannya hingga banyak orang yang mempercayai hal berbau syirik itu?!.
“Kalau
lambat diobati dan dibersihkan mungkin dalam lima tahun kedepan kau belum dapat jodoh,”katanya abang iparku seolah-olah dia bisa membaca masa depan ku.
Lima tahun,sekarang umurku masih sembilan belas tahun ditambah lima tahun baru
dua pulu empat tahun. Masih belum menjadi perawan tua. Kakak setempat kerja
denganku baru menikah umur dua puluh sembilan tahun. Dan itu bukan karna
gantung pelalau.
Mendengar kata abang iparku,mak
mulai kecoh lagi. Gantung pelalau terus yang keluar dari mulutnya. Menyuruhku
lebih tepatnya memaksaku agar mau berobat ke dukun.
“Tidak mak. Sarah tidak mau main
dukun-dukunan.” Mak terus memaksaku, aku pula terus menolak. Mungkin entah
karna aku tidak bisa diajak kerja sama,atau karna mereka mulai sibuk dengan
urusan masing-masing,gantung pelalau pun mulai pudar. Tidak menjadi Headline lagi dikeluargaku. Aku pun
mulai tenang menjalani hari-hari tanpa gantung pelalau.
.
. .
Sepulang kerja aku melihat ada motor
di depan rumah. Siapa yang datang,gumamku. Oh..ternyata saudara jauh bapak. Aku
masuk dan permisi untuk istirahat di kamar. Sangat lelah hari ini. Dari dalam
kamar samar-samar aku dengar percakapan mereka.
“...Itu si Nur anak pak Jantan yang
rumahnya tak jauh dari rumah arwah aki Razak lama..,” suara bibi terdengar
nyaring menjelaskan orang yang akan menjadi topik pembicaraan. Aku tersenyum
mendengarnya.
“Ha..dia itu terkena guna-guna
orang,kena gantung pelalau,”sambungnya. Ah gantung pelalau lagi.” Aku mulai rimas. Ku tutup telinga dengan bantal.
“O..itulah,kata pak Putih Sarah pun
terkena gantung pelalau.” Mak membuka cerita.
“Astaghfirullah..”
“Itulah Mar, kakak risau. Sarah tu
tak mau diajak kedukun.”
.
. .
Malam ini gantung pelalau kembali
diangkat oleh mak sebagai kasus utama. Bagiku kasus ini sudah basi,berjamur,dan
tak layak diketengahkan lagi. Mereka semua sangat antusias membahasnya. Seakan
didodoi dengan kekecohan gantung
pelalau akupun terkapar. Dalam
tidur,aku masih mendengar tentang gantung pelalau. Memuakkan.
.
. .
Karya:
Lidya A.Tina
Bengkalis
Bengkalis
0 komentar:
Posting Komentar
tinggalkan jejak anda.