Jumat, 25 September 2015

Gantung Pelalau ( Cerpen 5)

Gantung Pelalau


            Mak sibuk menyuruhku mencari jeruk nipis. Saat aku bertanya untuk apa,dia bilang untuk mandi tolak bala. Kata mak lagi aku kena guna-guna orang. Gantung pelalau,begitu namanya. Konon,orang yang terkena gantung pelalau,akan sulit mendapat jodoh. Walaupun sudah ada kekasih ada-ada saja hambatan untuk menikah.
            “Ah mak itu jaman dulu. Sekarang tidak ada yang begituan,”bantahku. Aku bukan orang yang terlalu percaya dengan hal seperti itu. Gantung pelalau menurutku hal bullshit yang tidak perlu dipercayai.
            “Lagipula ada tidaknya jodoh di dunia ini telah diatur oleh Tuhan,tak ada satu makhluk pun yang mengetahui rahasia Dia. Kalaupun nantinya Sarah tidak dapat jodoh,itu bukan karna gantung pelalau tapi memang Allah tidak menyediakan jodoh Sarah di dunia ini,”terangku lagi bak Mama Dedeh.
            “Kau jangan tidak percaya Sarah. Memang ada jodoh atau tidak di tangan Allah,tapi banyak penyebabnya. Kau tau adik ipar kak Lipah tu,dia dulu kena gantung pelalau juga. Sudah hampir menikah tiba-tiba dibatalkan oleh pihak laki-laki. Setelah berobat ke dukun baru sembuh dan menikah baru-baru ini.” Mak mulai marah pada ku. Setiap membicarakan masalah mejik-mejik,aku dan keluargaku selalu saja bersilat lidah. Aku percaya,keluarga ku pula menyuruhku mempercayainya. Satu lagi yang membuatku terkilan,dukun. Untuk apa bertemu dukun? Pakai kemenyan seperti mau memanggil hantu.

            “Mak sudah pergi ke rumah pak Putih,katanya kau ada menyinggung hati orang,jadi orang itulah yang mengguna-gunakan mu.” Pak Putih merupakan salah satu “orang pintar” di kampung kami. Banyak orang meminta bantuan kepadanya. Ada yang minta diurut,tawar air,mengobati orang,dan banyak lagi.
            “Tapi mak,Sarah tidak merasa pernah menyinggung perasaan orang. Lagipula,tidak jelas orang mana yang Sarah singgung,” aku membela diri.
            “Kau memang tidak merasa,tapi mungkin dia yang merasa tersinggung padamu. Sudahlah cari saja jeruk nipis,nanti mak pergi ke rumah pak Putih lagi,supaya dia dapat mengobatimu.” Aku tak kuasa menolak. Jeruk nipis di belakang rumah tetanggaku besar-besar. Aku berpikir lebih baik jeruk yang ku petik ini dibuat sambal mentah tentu lebih berguna daripada dibuat mandi. Ah..aku jadi lapar. Ku putuskan untuk mengambilnya sebagian untuk sambal mentahku. Sisanya baru ku kasi pada mak.
            Sejak hari itu dikeluargaku penuh dengan cerita guna-guna,gantung pelalau. Kemak. Pulang ke rumah mak menceritakan hasil pertemuannya dengan pak Putih. Di rumah kakak,cerita yang sama didengar lagi. Aku benar-benar muak dengan kisah gantung pelalau ini. Gantung pelalau dan lagi-lagi gantung pelalau yang ku dengar. Sepertinya mak dan keluargaku sangat takut kalau-kalau nantinya aku tidak dapat jodoh dan menjadi perawan tua. Gantung pelalau keparat. Begitu besarkah kebenarannya hingga banyak orang yang mempercayai hal berbau syirik itu?!.
            “Kalau lambat diobati dan dibersihkan mungkin dalam lima tahun kedepan kau belum dapat jodoh,”katanya abang iparku seolah-olah dia bisa membaca masa depan ku. Lima tahun,sekarang umurku masih sembilan belas tahun ditambah lima tahun baru dua pulu empat tahun. Masih belum menjadi perawan tua. Kakak setempat kerja denganku baru menikah umur dua puluh sembilan tahun. Dan itu bukan karna gantung pelalau.
            Mendengar kata abang iparku,mak mulai kecoh lagi. Gantung pelalau terus yang keluar dari mulutnya. Menyuruhku lebih tepatnya memaksaku agar mau berobat ke dukun.
            “Tidak mak. Sarah tidak mau main dukun-dukunan.” Mak terus memaksaku, aku pula terus menolak. Mungkin entah karna aku tidak bisa diajak kerja sama,atau karna mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing,gantung pelalau pun mulai pudar. Tidak menjadi Headline lagi dikeluargaku. Aku pun mulai tenang menjalani hari-hari tanpa gantung pelalau.
                                                . . .
            Sepulang kerja aku melihat ada motor di depan rumah. Siapa yang datang,gumamku. Oh..ternyata saudara jauh bapak. Aku masuk dan permisi untuk istirahat di kamar. Sangat lelah hari ini. Dari dalam kamar samar-samar aku dengar percakapan mereka.
            “...Itu si Nur anak pak Jantan yang rumahnya tak jauh dari rumah arwah aki Razak lama..,” suara bibi terdengar nyaring menjelaskan orang yang akan menjadi topik pembicaraan. Aku tersenyum mendengarnya.
            “Ha..dia itu terkena guna-guna orang,kena gantung pelalau,”sambungnya. Ah gantung pelalau lagi.” Aku mulai rimas. Ku tutup telinga dengan bantal.
            “O..itulah,kata pak Putih Sarah pun terkena gantung pelalau.” Mak membuka cerita.
            “Astaghfirullah..”
            “Itulah Mar, kakak risau. Sarah tu tak mau diajak kedukun.”
                                                . . .
            Malam ini gantung pelalau kembali diangkat oleh mak sebagai kasus utama. Bagiku kasus ini sudah basi,berjamur,dan tak layak diketengahkan lagi. Mereka semua sangat antusias membahasnya. Seakan didodoi dengan kekecohan gantung pelalau akupun terkapar. Dalam tidur,aku masih mendengar tentang gantung pelalau. Memuakkan.
                                                . . .

                                                      Karya: Lidya A.Tina
                                                             Bengkalis

0 komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak anda.

Template by:

Free Blog Templates